Kesuksesan bisa diraih oleh siapa saja yang tak kenal lelah untuk berusaha, sehingga roda kehidupan Tri Sumono yang dulu berada di bawah saat ini sudah berputar. Begitulah roda kehidupan. Tri
Sumono adalah seorang pengusaha dengan bidang usaha peternakan,
perkebunan jahe, pertanian padi dan masih banyak lagi lainnya. Memang usaha yang digeluti Pak Tri, begitu nama panggilannya, belum
sebesar Yusuf Kalla atau Aburizal Bakrie namun usaha yang dialkukannya patut diacungi jempol. Melalui
CV 3 Jaya miliknya, ia bermetamorfosa dari seorang tukang sapu dan office boay menjadi seorang
pengusaha yang terbilang cukup sukses.
Tri Sumono lahir di
Gunung Kidul tanggal 7 Mei 1973. Setelah tamat SMA. Ia hijrah ke Jakarta dengan harapan dapat memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak. Dengan berbekal ijazah SMA dan beberapa kaos di tas ia
mencari pekerjaan di Jakarta. Ia sadar bahwa lulusan SMA tak mungkin bisa
bekerja di kantoran.
Sampai di Jakarta ia
menerima pekerjaan apa saja yang bisa membeli makanan,seperti kuli bangunan
di Ciledug-Jakarta Selatan, kemudian menjadi tukang sapu di sebuah
kantor di Palmerah – Jakarta Barat. Dan karena kerajinannya dalam
bekerja, ia kemudian diangkat menjadi office boy.
Tak perlu menunggu waktu
lama, Tri Sumono akhirnya diangkat menjadi tenaga pemasar hingga menjadi
penanggungjawab di gudang. Ia juga seorang yang ulet. Ketika hari libur, ia mencari
penghasilan tambahan dengan menjual aksesoris seperti jepit rambut dan kalung
di Stadion Gelora Bung Karno. Ia lakukan selama 4 tahun dengan
bermodal uang 100 ribu rupiah.
Memutuskan Menjadi Pengusaha
Saat berjualan tersebut
ia berfikir bahwa ternyata hasil dari jualan jauh lebih menguntungkan dari
pada jadi karyawan yang gajinya sedikit dan sulit naiknya. Akhirnya ia
mengambil keputusan keluar dari pekerjaannya dan memilih fokus berjualan
aksesoris.
Bisnis aksesorisnya
lama-kelamaan membesar sampai ia bisa memiliki stand di Mall Graha Cijantung.
Karena keuletannya ini ia juga bisa menabung uang dan membeli rumah di
Perumahan Pondok Ungu. Di rumah ia juga membuka toko sembako. Pada saat itu
perumahannya masih sangat sepi sehingga tokonya belum ramai pembeli. Tri Sumono
tak kehilangan akal. Disebelah rumahnya masih ada tanah kosong, ia gunakan
tanah tersebut untuk membuat kos-kosan yang harga sewanya miring.
Kos-kosan yang berjumlah
10 buah itu disewa oleh pedagang keliling seperti pedagang bakso dan gorengan.
Sasarannya pun tepat, toko sembako miliknya kecipratan rejeki dan menjadi ramai
pembeli karena harganya yang miring akhirnya toko tersebut dibuat kulakan oleh
pedagang bakso dan gorengan.
Melihat ada toko sembako
yang ramai, warga diluar komplek pun juga ikut berdatangan membeli di tokonya
Pak Tri.
Melebarkan Sayap
Tri Sumono terus berusaha meraih impiannya, ia tak mau berhenti di satu lini usaha saja,
pemikirannya adalah dengan memiliki banyak usaha maka jauh lebih baik dan lebih
stabil pemasukannya dibanding sedikit usaha.
Ia lalu menangkap
peluang membuat nata de coco. Dari info yang diperolehnya, nata de coco adalah
sari kelapa yang difermentasikan dengan bantuan bakteri Acetobacter xylium. Ia
kemudian membeli bakteri ini di LIPI Bogor. Kemudian hasil produksinya itu
dipasarkan ke beberapa perusahaan minuman kemasan di Jabodetabek
Awalnya
banyak yang membeli nata de coco darinya namun lama kelamaan orderan menjadi
sepi karena ternyata kualitas sari kelapanya menurun, bahkan ia akhirnya menghentikan
proses produksinya.
Ia memutar otak untuk
mencari tahu cara membuat sari kelapa atau nata de coco yang berkualitas. Ia pun nekad
menemui salah satu dosen IPB dan mengatakan kalau ia ingin belajar membuat nata
de coco yang baik,dan bersedia membayar berapapun demi
memperoleh ilmu itu.
Mulanya si dosen memandang sebelah mata mungkin dalam
hatinya berkata tak mungkin orang seperti Tri Sumono yang hanya lulusan SMA bisa mencerna keterangan
darinya. Namun Pak Tri tetap bersih keras ingin belajar darinya dan Pak Tri pun
menang. Dosen itu mempersilahkan Pak Tri untuk belajar dua bulan membuat nata
de coco yang berkualitas. Setelah ilmunya dirasa cukup, Pak Tri pun mulai
memproduksi lagi dan menawarkan nata de coco hasil produksinya ke beberapa
perusahaan.
Hasilnya sangat
memuaskan. Banyak perusahaan minuman yang membeli sari kelapa darinya. Ia langsung
memproduksi 10.000 nampan sekaligus dengan nilai 70 juta rupiah. Saat ini
kondisinya terbalik, banyak perusahaan yang malah antri membeli sari kelapa dari Tri Sumarmo.
Dalam sebulan, omset usahanya bisa mencapai
500 juta sampai satu miliar. Benar-benar keajaiban itu ada. Seorang tukang sapu
lulusan SMA telah menjelma menjadi miliarder jika memiliki impian dan terus
berusaha mengejar impian itu.
Tidak itu saja, usaha Tri terus dilanjutkan ke perkebunan
jahe dan pertanian padi serta jual beli properti.
Advertisement