Sudah menjadi pemandangan setiap hari bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP kepada para pedagang kaki lima (PKL). Disatu sisi para pedagang membutuhkan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi dilain sisi keberdaan lokasi tempat jualan PKL adalah lokasi yang terlarang sehingga jika dilakukan penertiban itulah resiko yang harus diterima jika berjualan ditempat yang tidak selayaknya.
Pedagang Kaki Lima
merupakan aktivitas ekonomi sektor informal yang cukup menjanjikan dan diminati
oleh masyarakat migran di kota-kota besar. Meskipun bagi sebagian besar sangat
berkeyakinan bahwa mengawali kerja sebagai PKL membutuhkan modal yang tidak
sedikit dan kekuatan mental yang tinggi. Selain harus siap bertaruh tidak laku
selama beberapa bulan, juga harus siap menghadapi berbagai tekanan dari
pihak formal seperti birokrasi maupun juga pihak lain seperti preman.
Tekanan dari birokrasi bisa seperti pembayaran retribusi secara rutin dan juga
seperti penertiban pengusuran(obrakan). Fenomena penertiban PKL di kota-kota
besar selalu menjadi peristiwa harian yang tiada henti. Hampir setiap saat PKL
harus bersiap perihal kejadian-kejadian penertiban tempat lapak berdagang
tersebut. Sebagai profesi sektor informal, maka Pedagang Kaki Lima memang
selalu menerima resiko berat ini. Terminologi penertiban selalu mengadung
pesan penggusuran Pedagang Kaki Lima dari tempatnya berjualan. Alasan utamanya
adalah untuk ketertiban sosial dan meminimalisasi ketidaknyamanan aktivitas
jalan raya dari ganggungan perdagangan. Sementara gangguan yang dialami PKL
dari luar birokasi adalah pemerasan preman. Para preman merupakan sindikasi
yang seringkali melakukan aksi pemerasan kepada hampir semua Pedagang
Kaki Lima dengan alasan jasa keamanan. Bahwa Pedagang Kaki Lima telah menempati
tempat-tempat tertentu yang dianggap sebagai daerah kekuasaan para preman
tersebut. Pada kondisi ini maka PKL berada dalam situasi dilematis yang membuat mereka harus menerima.
Dengan semakin
berkembangnya PKL menyebabkan Kontribusi yang positif antara lain : pertama
munculnya Pedagang Kaki Lima berarti memberikan lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar yang menganggur, bahkan memberikan lapangan kerja baru
seperti tukang parkir di sekitar jalan tersebut. kedua pemenuhan kebutuhan sehari-hari secara murah dan mudah untuk
warga sekitaran lokasi, dan ketiga terjadi pola relasi yang menguntungkan
antara Pedagang Kaki Lima dengan masyarakat warga , di mana
masyarakat kemudian akan ikut berjualan untuk menyediakan bahan-bahan yang
dibutuhkan oleh Pedagang Kaki Lima seperti berjualan sayur dan penitipan lapak
gerobak berjualan. Sedangkan kontribusi negatif lebih diletakkan pada implikasi
negatif yang ditimbulkannya, seperti: pertama menyebabkan kesemrawutan arus
lalu lintas. Kedua, kesan kumuh dan kotor tidak terhindarkan Ketiga,
potensi konflik rebutan lahan dagang maupun tempat parkir oleh para
pedagang kaki lima dan keempat, potensi kriminalitas dan ajang munculnya
penyakit masyarakat seperti pencurian motor dan helm yang di parkir. Berbagai upaya selalu dilakukan tetap saja tidak membuahkan
hasil maksimal, kecuali dilakukan sebuah tindakan-tindakan represif. Hal ini
mengingat kehadiran Pedagang Kaki Lima telah memberikan dua bentuk kontribusi.dengan
adanya pedagang kaki lima dalam kehidupan perkotaan telah
memunculkan berbagai permasalahan bagi ketertiban kota . Masalah
keberadaan pedagang kaki lima terutama di kota-kota besar menjadi warna
tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi pemerintah kota.
Pedagang kaki lima adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terutama kebijakan
tentang ketertiban dan keindahan kota.
Dampak yang paling
signifikan yang dirasakan oleh Pedagang kaki lima adalah seringnya Pedagang
Kaki Lima menjadi korban penggusuran oleh para Satpol PP serta banyaknya
kerugian yang dialami oleh Pedagang Kaki Lima tersebut, baik kerugian materil
maupun kerugian non materiil. Dalam pandangan pemerintah, tentunya keberadaan
Pedagang Kaki Lima yang ada di kota ini mengganggu keindahan dan ketertiban.
Jalan cepat yang diambil pemerintah untuk keluar dari masalah ini adalah
menggusur kebedaraan Pedagang kaki lima. Dalam bahasa pemerintah penggusuran
mengalami penghalusan menjadi penertiban. Padahal intinya sama saja,
mengusir Pedagang Kaki Lima dari lapak atau tempat berdagangnya. Selain cepat
tentu jalan ini dinilai praktis dan ekonomis. Praktis karena dengan menggusur
dalam hitungan jam saja keberadaan Pedagang kaki lima yang mengganggu sudah
tidak tampak lagi. Ekonomis karena tidak dibutuhkan dana yang besar untuk
sekedar melakukan penggusuran; paling tinggal mengerahkan tenaga Satpol PP dan
mengoperasikan sebuah alat berat (buldoser) yang tanpa ampun bisa meratakan
bangunan usaha Pedagang kali lima dalam hitungan cepat. Permasalahan Konflik
Pedagang kaki lima menjadi menarik, karena Pedagang Kali Lima menjadi sebuah
dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi Pedagang Kaki Lima sering
mengganggu tata ruang kota, disisi lain Pedagang kaki Lima menjalankan peran
sebagai bayang- bayang ekonomi. Namun, mengingat bahwa kontribusi Pedagang
Kaki lima sangat besar bagi semua kalangan masyarakat. Keberadaannya sangat
membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi tertentu. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui resolusi konflik
permasalahan PKL yang ada pada kawasan
semolowaru.
Permasalahan pedagang
kaki lima seolah menjadi permasalahan bagi pemerintah
kota dalam melakukaan penataan kota . Kehadiran Pedagang Kaki
Lima yang berserakan dimana-mana, di setiap sudut pinggiran jalan, bahu
jalan, emperen toko, tanah kosong, dan sebagainya yang berada di lingkungan
jalan, seolah telah memperburuk citra sebagai kota. Itulah sebabnya, selalu saja muncul fenomena penggusuran dengan
alasan penertiban kepada setiap Pedagang Kaki Lima yang dianggap melanggar
ketertiban umum terutama macetnya jalan . Fenomena tersebut
kemudian berimplikasi bagi lahirnya berbagai perlawanan (resistensi)
pedagang kaki lima terhadap upaya untuk menertibkan kehadiran Pedagang Kaki
Lima. Perlawanan-perlawanan tersebut bisa saja dilakukan secara kolektif,
maupun secara individual oleh Pedagang Kaki Lima. Karena fenomena ini menjadi
klasik dan berulang terus-menerus, maka tidaklah heran jika banyak orang
menganggap fenomena pengusuran ini sebagai perilaku Pedagang Kaki Lima . Dengan adanya perlawanan dari Pedagang Kaki Lima terhadap berbagai
upaya yang mengganggu kepentingan Pedagang Kaki Lima, baik yang dilakukan
secara formal maupun non formal. Marginalisasi sektor informal ini berlangsung
secara terus-menerus. Istilah marginal atau adanya pembatasan memang menyangkut
problema keterpinggiran atau dipinggirkan dalam arus utama. Pedagang Kaki Lima
menjadi marginal karena biasanya : pertama, profesi ini dipilih oleh
mereka yang tidak terserap pada sektor formal. Kedua, menjalankan pekerjaan
ini tidak membutuhkan syarat-syarat formal khusus, karena setiap orang memiliki
peluang yang sama untuk menjadi Pedagang Kaki Lima. Artinya, tidak pernah
ada lowongan kerja untuk menjadi Pedagang Kaki Lima karena memang bukan sebuah
perusahaan. Ketiga, penyebutan sektor informal sesungguhnya memberikan
indikasi bahwa sektor ini bukanlah menjadi pekerjaan resmi yang dilindungi oleh
perundang-undangan. Situasi-situasi yang bersifat eksternal maupun internal
kian memperjelas kedudukan yang marginal dari Pedagang Kaki Lima. Pilihan
menjadi Pedagang Kaki Lima lebih didorong karena keterpaksaan ekonomi hidup di
kota besar dan Pedagang Kaki Lima merupakan sasaran untuk dirinya yang belum
mendapatkan pekerjaan pada sektor formal karena
itu dengan menjadi Pedagang Kaki Lima
resiko sosial terlalu tinggi, apalagi jika barang dagangannya tidak laku.
Selain harus menanggung kerugian material, Informan juga harus dihadapkan pada
mendesaknya kebutuhan hidup sehari-hari. Dilematika inilah yang seringkali menghantui
mereka yang baru memulai aktivitasnya sebagai Pedagang Kaki Lima. Selain itu,
pilihan menjadi Pedagang Kaki Lima karena alasan pewarisan usaha
dari keluarga. Artinya, keberhasilan keluarganya yang mendorong menjadi
Pedagang Kaki Lima. Pedagang Kaki Lima jenis ini lebih bersifat turun temurun
dan memiliki hubungan
persaudaraan, sehingga memiliki keterikatan dan kerjasama yang baik antar
keluarga. Pada dasarnya, marginalisasi sektor informal khususnya Pedagang Kaki
Lima merupakan implikasi nyata dari sejarah panjang kehadiran informan sebagai
pedagang, baik dalam soal perizinan maupun tanah/lahan yang digunakan.
Temuan dalam penelitian yang didapatkan dari wawancara menyebutkan bahwa hampir
tidak ada Pedagang Kaki Lima yang memiliki lahan sendiri untuk menggelar
dagangannya. Pedagang Kaki Lima menggunakan lahan-lahan kosong yang secara
formal-yuridis tidak diperbolehkan sebagai tempat berdagang. Pedagang
Kaki Lima selalu memanfaatkan lahan kosong dan strategis untuk menggelar
dagangannya. . Sehingga tidak
dipungkiri Salah satu musuh utama pemerintah adalah
bagaimana menata Pedagang Kaki Lima agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat
lainnya karena keberadaan pedagang kaki lima. Hampir tiap hari terdapat rencana
tentang penertiban Pedagang Kaki Lima di beberapa tempat . Tidak saja soal penertiban, melainkan juga
bentrokan selalu mewarnai setiap upaya menertibkan Pedagang Kaki Lima. Penertiban
Pedagang Kaki Lima yang diselenggarakan pada dasarnya memiliki legitimasi
formal.
Kesimpulannya adalah, saat ini bagaimana pemerintah mampu menyediakan lahan yang setrategis dan terjangkau baik lokasinya atau keterjangkauan sewa lapak untuk merelokasi para pedagang yang berserakan dijalanan. Demikian juga bagi parapedagang kaki lima harus sadar mampu untuk tidak berjualan ditempat tempat yang dilarang.
Advertisement